Akhirnya aku beranikan diri kembali membuka lembar kosong yang ada di sini, untuk menuliskan banyak hal yang selama ini memenuhi isi kepala. Dua tahun adalah waktu yang ternyata terlalu singkat untuk dilewati hal-hal yang datang tanpa diminta. Namun, jika ada film yang bisa menayangkan segala hal yang terjadi pada dua tahun ini, aku rasa dua jam berdiam diri di bioskop bersama berondong jagung bukanlah waktu yang cukup.
Dua tahun lalu saat terakhir aku tuangkan isi ceret ke dalam
cawannya, tinta pena ke dalam kertasnya, saat itu aku masih berstatus sebagai
mahasiswa tingkat akhir. Segala kesulitan, kebimbangan, kepayahan yang terjadi
pada tahun-tahun sebelumnya rupanya belum ada apa-apanya dibandingkan segala
yang tumpah ruah di tahun itu. Ujian demi ujian harus dilewati agar hidup senantiasa
terus berjalan mengikuti porosnya. Berjuang dan bertahan di tengah pandemi,
hingga akhirnya harus turut menjadi mereka yang mencicipi rasanya diuji dengan
penyakit dari virus tersebut. Namun, dengan kemurahan hati sang Khalik akhirnya
manusia yang penuh kepayahan tersebut akhirnya dapat menyelesaikan sesuatu yang
telah dimulainya, yakni resmi menyelesaikan studi strata satu.
Segala cita, asa, dan harapan yang selama ini dipanggul
tumpah ruah setelah tali pada topi di pakaian toganya berpindah dari kiri ke
kanan. Ketika perayaannya telah dilaksanakan, lalu mengabadikannya dengan
jepretan kamera, kemudian memposting ulang mention teman di media sosial
selesai rupanya sesuatu yang lebih besar datang menghampiri. Mungkin hal ini
pun lumrah datang kepada teman-teman yang telah melewati fase yang sama
denganku, atau mungkin juga tidak. Hal besar tersebut adalah pertanyaan “Lalu,
setelah ini apa?”.
Selama ini banyak harapan yang rupanya dipengaruhi oleh
sesuatu bernama idealisme. Seperti ayam yang mengerami telurnya, idealisme
dipegang, dirawat, dan dijaga agar jangan sampai rusak dan hilang sebelum waktu
menetasnya. Rupanya, waktu menetas itu tiba ketika kita dihadapkan dengan
hal-hal yang secara tidak langsung membawa kita pada arus yang deras, bernama
realita. Seperti pada tulisanku sebelumnya, sebenarnya aku pun bukanlah mereka
yang ingin terbang setinggi langit dan jatuh bersama bintang-bintang. Namun, di
dalam diriku masih ada mimpi yang ku pegang erat-erat layaknya sisa balon yang
tinggal empat pada lagu Balonku. Jika kamu pernah membaca tulisanku sebelumnya,
mungkin kamu akan ingat.
Dua tahun berisikan banyak hal yang mengubah struktur
kognitifku. Seperti yang banyak orang katakan manusia itu dinamis, begitupun
dengan aku. Pada dua tahun ini, aku pun disadarkan bahwa ternyata rasa kecewa
melepas atau menunda mimpi itu adalah hal yang tidak dapat aku hindari. Dua
tahun lalu, aku masih bisa mengatakan “tidak apa-apa” jikalau nantinya
banyak mimpi yang harus diganti, tertunda, atau bahkan terkubur. Namun, kini
semuanya bergeser, ternyata kini aku harus memberikan afirmasi pada diriku
bahwa “tidak apa-apa” untuk merasakan kecewa.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Seiring
berjalannya waktu, sampai pulalah aku di titik jenuh. Titik yang ternyata lebih
tidak nyaman dibandingkan harus berdebat dengan penganut makan bubur diaduk.
Titik yang ternyata lebih cepat membuat GERD1 kambuh dibanding saat masa-masa
mengerjakan tugas akhir. Semua jalan terasa begitu jauh, terasa begitu
berkerikil, terasa begitu menyulitkan untuk ditapaki. Dilema, dan begitu banyak
pertanyaan bermunculan di kepala “mengapa jalanku semakin jauh dari hakikat
yang selama ini ingin aku cari?”. Namun, alarm waktunya bangun pagi ternyata
lebih cepat berbunyi sebelum aku mendapatkan jawaban dari pertanyaan yang selalu
datang kepadaku.
Hingga kini, aku masih merasa payah
dalam menentukan yang terbaik. Rupanya, sebagai anak manusia begitu banyak hal
yang harus dipertimbangkan ketika ingin memutuskan sesuatu. Ada kalanya langkahku
tersendat, ada kalanya juga aku bisa berlari kembali. Menentukan sesuatu
bukanlah langkah yang seringkali mudah, terlebih harus menerima segala hal yang
terjadi saat kita sudah menentukan sebuah keputusan. Namun, hidup tetap harus
berjalan dan dijalankan dengan atau tanpa mimpi yang selama ini dipegang. Meskipun
begitu, keyakinan harus tetap dimiliki, bahwa sampai kapanpun kita semua berhak
untuk kembali merangkai ulang mimpi-mimpi kita dari awal.
Tulisan ini dibuat saat hujan lebat turun
di bulan Juni, bulan keenam pada setiap tahun masehi. Artinya, bulan ini adalah
pertanda bahwa setengah tahun telah berjalan dengan lika-liku yang syukurnya
berhasil dilewati. Ku katakan berhasil karena, kita masih diberikan waktu untuk
bernafas yang artinya kita masih diberi kesempatan untuk memperjuangkan banyak
mimpi yang masih luput dari pandangan kita.
“Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu”
Begitulah cara almarhum Pak Sapardi Djoko Damono menuliskan karyanya “Hujan Bulan Juni”.
Mungkin
itulah yang harus aku pelajari dari hujan di bulan Juni. Menghapus berbagai keraguan
yang selama ini selalu menggerogoti diri dari dalam pada jalan atau hal lain yang
telah aku pilih.
Pada tengah tahun ini juga, aku merenung dan sedang belajar
sebuah keterampilan yang bernama penerimaan. Aku berpikir bahwa keterampilan
itu akan menjadi keterampilan yang tidak akan pernah selesai proses belajarnya,
akan menjadi sebuah keterampilan yang akan dipelajari seumur hidup. Aku harus
belajar menerima bahwa perasaan bahagia terkadang bisa datang satu paket dengan
perasaan kecewa. Bagai dua sisi mata uang, ketika mereka datang menyapa, dan
aku menyambut dengan baik maka aku harus menerima kedua sisi tersebut, tidak
bisa hanya salah satunya. Aku harus belajar menerima bahwa terkadang yang
terlihat dengan mata hanyalah sebuah proyeksi dan bukan yang sebenarnya
terjadi. Aku harus belajar menerima bahwa ketidakpastian dan ketidaknyamanan
adalah keniscayaan yang akan selalu hadir selama kita masih bertugas di dunia.
Pada akhirnya, aku pun sampai pada akhir kesimpulan yang aku pelajari hingga
tengah tahun ini. Walaupun sepertinya aku masih berada pada posisi kepayahan dan
kebingungan akan banyak hal, namun aku begitu merasa lega akhirnya bisa kembali
menumpahkan isi ceret yang telah lama tumpah karena didiamkan mendidih. Aku
merasa hasil perenungan ini adalah pelajaran untuk terlebih dahulu menerima
segala hal yang terjadi, menyadari reaksi yang terjadi pada diri, lalu
menentukan respons yang akan dilakukan. Sesulit apapun situasi yang akan muncul
di depan, aku harus selalu bersiap untuk menghadapinya dengan tidak pernah berhenti
berjalan sekecil apapun langkah yang aku lakukan agar aku dapat mencapai tujuanku
menjadi sebaik-baiknya manusia.
Tulisan yang kurang dari 1000 kata ini, sebenarnya masih belum cukup
komprehensif menggambarkan segala emosi yang merupakan sebuah spektrum. Namun, besar
harapanku semoga dengan kacamata jenis apapun pembaca melihat tulisan ini, hatinya
akan penuh. Hatinya akan penuh dengan perasaan syukur dan harap bahwa sesulit
apapun situasi tidak nyaman saat kita sedang berusaha mencapai equilibrium2
kita akan sampai juga. Kita akan sampai pada masa merasa semua
ketidaknyamanan ini ternyata ada nilainya.
1GERD atau gastroesophageal reflux disease) atau penyakit asam lambung disebabkan oleh melemahnya katup
atau sfingter yang terletak di kerongkongan bagian bawah.
2Equilibrium diartikan
sebagai suatu keadaan dimana interaksi yang terjadi antara komponen-komponen
yang ada didalam aktivitas hidup manusia dapat berjalan secara harmonis dan
juga seimbang.
Juni, 2022.
Selalu kasih insight dan aha momen dari setiap bacaannya keren...
BalasHapus