Langsung ke konten utama

[Journey to the West] 2 x 365 + 93


2 tahun dan 93 hari setelah tulisan terakhir dari buku digital ini muncul, pemilik buku ini benar-benar sudah tidak pernah menggoreskan tinta digitalnya di buku ini. Rasanya, jikalau ini benar-benar merupakan sebuah buku konvensional, tentu ia akan amat berdebu. Sepertinya kita butuh vacum cleaner dengan teknologi terbaru dan termutakhir untuk membersihkan debu-debu hingga bersih di buku ini karena lama tidak tersentuh.
Bukan, bukan karena pemilik buku ini melupakan bukunya. Bahkan, sesekali beberapa orang menanyakan kabar buku ini. Seringkali pemilik buku menjawab baik-baik saja, hanya saja rasanya sulit menggapai buku ini untuk kembali digoreskan tinta. Sampai kini, pemilik buku tidak mengetahui faktor yang memengaruhinya. Sibuk? sungguh tidak elok mengambinghitamkan hal-hal yang sebenarnya masih dapat dikelola. Sampai saat ini hipotesis terkuatnya ialah kurangnya motivasi internal dari pemilik buku untuk kembali menulis. Klise ya.
_________________________________________________________________________________
Hari ini, rupanya rasa rindu menuliskan beberapa guru terbaik dalam hidupku tidak dapat terbendung lagi. 2 tahun dan 93 hari sudah dapat apa, ya? Begitulah rupanya, satu diantara 1001 pertanyaan yang sering muncul dalam benakku ketika melakukan hal yang orang sebut kontemplasi. Pada waktu bulan dan bintang akhirnya bertemu hingga mereka harus berpisah lagi. Jujur, membaca kembali tulisan-tulisan lama membuat aku mengingat kembali alasan mengapa bisa aku menuliskan hal-hal tersebut?. Hal tersebut juga membuat aku menyadari banyak sekali skema milikku yang berubah, berkembang, hilang, dan baru. 2 tahun dan 93 hari rasanya tidak banyak yang berubah dari dunia dan masyarakat. Adapun yang berubah ialah diriku, dan dunia yang tidak banyak berubah ini turut andil dalam perubahan tersebut. Hingga kini, aku masih penganut paham konvergensi bahwa nature dan nurture memiliki porsi yang saling melengkapi dalam membentuk seseorang. Artinya, bahwa bukan saja dunia yang membentukku, tetapi anugerah yang Tuhan titipkan sejak aku lahir dan tidak akan dapat aku ubah pun menjadi kawannya dunia dalam membentuk aku sekarang.
Aku penasaran, masihkah ada yang penasaran dengan kelanjutan perjalananku?. Walaupun, sejatinya aku tidak begitu peduli dengan hal tersebut, aku memang hanya ingin perjalananku terabadikan, dan sewaktu-waktu rekamannya dapat kuputar melalui rangkaian huruf ini. Namun jika ada, aku sangat bersyukur sekali, jika ada orang lain yang hendak memutar rekaman dalam rangkaian huruf ini. Semoga saja, rekaman-rekaman ini dapat menutupi kesalahanku yang selama ini banyak sekali menyia-nyiakan waktuku hingga sedikit sekali kebermanfaatan yang aku berikan bagi makhluk di sekitarku.
Ingin sekali rasanya bertanya pada suasana, perasaan, pemikiran, dan juga manusia yang turut membangun perspektif 2 tahun dan 93 hari kali ke belakang. “Apa kabar kalian?”. Bingung juga sebenarnya hari ini. 2 tahun dan 93 hari begitu banyak yang ingin aku ceritakan, hingga bingung memilih dan memilah cerita yang ingin ku tulis, hingga dadaku sesak.
_________________________________________________________________________________
Selama 2 tahun 93 hari ini, banyak sekali hal yang membombardir isi kepalaku, juga tubuhku yang memang sedari aku duduk di bangku sekolah dasar mudah sekali tumbang. Bom-bom itulah yang pada akhirnya membentuk aku pada hari ini. Hingga pada akhirnya, aku juga tertabrak realitas. Entahlah, aku juga bingung “mengapa usia 20 terasa sangat sulit”. Kira-kira begitu yang sekarang seringkali menghantui isi kepala. Apakah karena faktor society atau memang milestone perkembangan usia 20 tahun memang seperti ini ya?. Begitu banyak hal yang seolah-olah menjadi perencanaan. Semangat yang menggebu-gebu ingin merencanakan banyak hal, tapi tiba-tiba kita pun harus siap rencana kita dibenturkan dengan realita.
Mulai dari hal remeh temeh seputar cinta monyet yang tiba-tiba menjadi lebih bijak, atau bahkan seputar keinginan berlayar keliling dunia dan membeli rumah tipe 36 untuk tinggal di wilayah sub urban fringe seharga hampir lima ratus juta. Menggelitik ya, ternyata begitu banyak yang harus disiapkan yang katanya untuk masa depan. Walaupun sejatinya kita tidak tahu kita akan sampai di masa depan itu atau tidak, isi kepalaku selalu mengatakan bahwa hal tersebut tentu harus direncanakan. Mungkin ini ya bentuk realisasi dari kata-kata yang selalu dikatakan oleh guru mengajiku di surau sewaktu aku kelas dua sekolah dasar “beribadahlah seolah-olah kamu akan meninggal besok, dan bekerjalah (untuk urusan dunia) seolah-olah kamu akan hidup seratus tahun lagi.”. Sekali lagi, aku bahkan tidak tahu penyebab hal-hal di atas selalu muncul di kepalaku akhir-akhir (apakah faktor society atau memang ini adalah sebuah milestone perkembangan manusia usia 20).

Seperti biasa, seperti pada umumnya tulisan akan menggambarkan cara pandang penulisnya. Manusia tumbuh, manusia berkembang, aku rasa begitu pula dengan cara pandang semakin banyak asupan pengalaman skema dalam dirinya juga akan berubah.
Sedikit bercerita (walaupun sebenarnya sudah banyak di atas), pernah ada yang mengatakan bahwa aku terlalu “ambis”. Bahkan dia menambahkan kata “terlalu” sebelum kata ambisius. Entahlah, kata ambisisus kini agak bergeser makna terutama di kalangan mahasiswa. Katanya, manusia ambisius adalah mereka yang mengerjakan tugas dan sudah selesai, padahal waktu pengumpulan tugas masih satu minggu lagi (atau sejenisnya). Padahal nyatanya, aku sama sekali tidak seperti itu. Aku masih masuk ke dalam golongan yang masih panik tengah malam, karena tugas harus dikumpulkan besok sementara makalah dan power point (atau sejenisnya) belum rampung. Sebenarnya bebas saja, kita ingin mengartikan ambisius itu sebagai apapun. Walaupun, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri ambisius berarti berkeinginan keras mencapai sesuatu (harapan, cita-cita); penuh ambisi. Aku rasa, semua orang yang saat ini sedang beraktivitas pun pasti sedang berupaya mencapai sesuatu, sesederhana mencapai sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya yang paling dasar yakni kebutuhan fisiologis menurut Teori Kebutuhan dari Abraham Maslow.
Kembali lagi, aku selalu merasa mereka yang berambisi memiliki perancanaan yang matang untuk mencapai ambisi-ambisinya tersebut. Rasanya, sah-sah saja asalkan hal yang dilakukannya bukan perbuatan tercela menurut norma sosial, agama, dan hal-hal lain yang merugikan makhluk di sekitarnya. Jika kembali lagi padaku, nyatanya aku merasa masih malas (atau mungkin takut) memikirkan perencanaan-perencanaan yang sejatinya harus aku capai demi memenuhi kebutuhan mulai dari fisiologis hingga aktualisasi diri. Bagi yang akhirnya sudah mengenalku dengan dekat, (mungkin) mereka akan sadar aku adalah manusia biasa-biasa saja, atau bahkan terlalu biasa. Pada akhirnya, diriku atau bahkan mungkin mereka pada akhirnya sadar bahwa aku adalah manusia yang sebenarnya malas bermimpi, tepatnya malas untuk berekspetasi. Mungkin, mereka yang melihatku penuh ambisi saat melakukan sesuatu, itu artinya aku sedang berusaha menyelesaikan tanggung jawabku yang jangan sampai aku lalai terhadapnya. Hal itu karena, kalau aku lalai akan ada efek domino mereka yang kecewa, bahkan dirugikan karena kelalaianku. Sesederhana itu sebenarnya.
Jika ditanya “apakah aku punya mimpi” sejujurnya, saat ini aku masih punya, sisa-sisa mimpi mungkin yang masih ku pegang erat-erat seperti seseorang pada lagu “Balonku” yang memiliki balon lima buah. Kemudian, balonnya pecah satu, dan empat lainnya harus dijaga dengan segenap jiwa raga. Terkadang mimpi-mimpiku itu yang memberiku semangat untuk mengupayakan apapun. Terdengar kontradiktif, tetapi pada akhirnya aku juga sering berpikir lagi bahwa aku selalu berpijak di antara dua tempat. Tempat pertama adalah mimpi, tempat ke dua adalah realitas. Mimpi dan realitas selalu berjalan beriringan, memang seperti mungkin hakikatnya?. Di antara mimpiku bisa menginjakkan kaki ke bulan, selalu ada realitas yang menyadarkanku bahwa aku bukanlah ahli astronomi yang bekerja di NASA hingga akhirnya bisa naik roket ke bulan. Ibaratnya begitu.
Aku bukan penganut paham bung Karno melalui kata-kata mutiaranya yang fenomenal, “bermimpilah setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang”. Walaupun dahulu, kalimat tersebut pernah amat memotivasiku, pada akhirnya aku adalah penganut “apabila bermimpi jangan terlalu tinggi, agar kalau jatuh tidak terlalu sakit”. Sejauh ini, begitu lah pandanganku terhadap hidup.
Sedikit berbagi, untuk mensiasati pandanganku yang seperti itu agar aku tidak jalan di tempat menurutku ialah dengan menentukan tujuan jangka pendek, yang aku rasa sedikit demi sedikit dapat menggapai mimpi yang menurutku tinggi itu. Tujuan jangka pendekku ialah sebuah tujuan yang aku pikir dapat aku usahakan dengan keadaan dan kemampuanku sekarang. Walaupun terlihat usahanya minimal, setidaknya dengan begitu semangat hidup terjaga dan sedikit demi sedikit setiap harinya kita punya tujuan diciptakan Tuhan hadir di bumi. Selain itu, menurutku itu juga merupakan upaya penyalamatan hati, agar tidak kecewa berlarut-larut. Asesmen diri sendiri, kini menjadi salah satu tambahan mata kuliah yang sedang aku pelajari disamping asesmen anak berkebutuhan khusus yang menjadi mata kuliah paling penting dan mendasar di jurusan kuliah yang sedang aku ambil. Asesmen diri juga menjadi salah satu mata kuliah paling penting dan mendasar yang sepertinya akan aku pelajari sampai kapanpun di dalam hidupku.
_________________________________________________________________________________
Ternyata, menjadi orang biasa atau ordinary person tidak seburuk yang dipikirkan. Kalau dulu (seperti yang terbaca pada tulisan-tulisanku sebelumnya) aku selalu ingin menjadi out of the box, pada akhirnya aku merasa ditekan dan seolah dipaksakan. Tidak apa menjadi biasa tetapi dapat mempertanggungjawabkan segala hal yang dilakukan. Satu hal yang menurutku tidak boleh berubah, tetaplah berupaya menjadi sebaik-baiknya manusia walaupun kita adalah orang biasa. Manusia yang bermanfaat bagi makhluk lain sekecil apapun usahanya. 
_________________________________________________________________________________
Akhirnya, aku bercerita lagi setelah 2 x 365 + 93 hari hanya memendam. Walaupun tidak semua mampu aku tuangkan, setidaknya  1328 kata mewakilinya. Jangan berhenti ya, seberat apapun, roda ceritamu harus tetap berputar.

Di hari tepat aku selesai menulis ini, Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2020 manusia-manusia mandiri!

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

[selingan] Karakteristik Guru Efektif dalam Perspektif Psikologi Pendidikan

Karakteristik Guru Efektif dalam Perspektif Psikologi Pendidikan Guru dan pendidikan merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Guru adalah jembatan dalam pendidikan agar pendidikan dapat tersampaikan dengan baik. Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2005 pasal 1 ayat 1 tentang guru dan dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru sebagai pengajar dipandang sebagai expert , sebagai ahli dalam bidang ilmu yang diajarkannya. Guru adalah sentral atau pusat yang menjadi panutan bagi para siswanya, sehingga guru harus memberikan teladan yang baik dan pendidikan yang tepat karena segala tingkah lakunya sering kali dicontoh oleh siswa. Guru dipandang sebagai contoh nyata manifestasi nilai yang ada dalam masyarakat. Menjadi seorang guru bukan hanya bertindak sebagai pengajar, namu...

[Interest] The Vitruvian Man by Leonardo Da Vinci

Berbicara soal karya seni, sejujurnya aku bukanlah orang yang terlalu paham mengenai karya seni, atau hal-hal di dalamnya. Tetapi, saat sebuah karya seni memengaruhi dunia ke depannya, aku rasa hal yang menarik untuk di bahas. Kali ini, akan dibahas mengenai karya dari maestro terkenal Leonardo Da Vinci, seorang seniman sekaligus ilmuwan dimana teori-teorinya memengaruhi dunia. Salah satu lukisannya yang terkenal hingga kini adalah lukisan wanita cantik Monalisa. Tapi, kali ini yang akan kutulis adalah mengenai mahakaryanya yang lain, yakni lukisan The Vitruvian Man. Nama Vitruvian berasal dari nama seorang arsitek dan insinyur militer Romawi, Markus Vitruvius Pollio yang menurut informasi hidup sekitar 100 tahun sebelum masehi. Berbagai buku yang ditulisnya adalah buku-buku mengenai arsitektur. Rupanya, seorang Vitruvius ini menjadi inspirasi Da Vinci dalam menciptakan karyanya. Apa hubungan Vitruvian Man dan Vitruvius ? Yang mendasari seorang Leonardo Da Vinci, menggun...

[Journey to the West] Memaknai Kata Sendiri

 ".. Aku harus belajar menerima bahwa perasaan bahagia terkadang bisa datang satu paket dengan perasaan kecewa. Bagai dua sisi mata uang, ketika mereka datang menyapa, dan aku menyambut dengan baik maka aku harus menerima kedua sisi tersebut, tidak bisa hanya salah satunya. Aku harus belajar menerima bahwa terkadang yang terlihat dengan mata hanyalah sebuah proyeksi dan bukan yang sebenarnya terjadi. Aku harus belajar menerima bahwa ketidakpastian dan ketidaknyamanan adalah keniscayaan yang akan selalu hadir selama kita masih bertugas di dunia. " Satu hal yang aku senangi saat aku menulis adalah di masa depan aku bisa kembali membukanya. Membuka kembali berbagai memori yang membuat kepala kembali bising dengan cerita-cerita yang kembali diputar. Jika kamu pernah membaca tulisanku, benar, kutipan di atas adalah kataku, pada dua tahun yang lalu.  Tidak terasa, ternyata yang aku perhatikan, perasaan akan selalu datang berulang, ya. Entahlah mungkin sebuah keniscyaan bahwa segala...