2 tahun dan 93
hari setelah tulisan terakhir dari buku digital ini muncul, pemilik buku ini
benar-benar sudah tidak pernah menggoreskan tinta digitalnya di buku ini.
Rasanya, jikalau ini benar-benar merupakan sebuah buku konvensional, tentu ia
akan amat berdebu. Sepertinya kita butuh vacum
cleaner dengan teknologi terbaru dan termutakhir untuk membersihkan
debu-debu hingga bersih di buku ini karena lama tidak tersentuh.
Bukan, bukan
karena pemilik buku ini melupakan bukunya. Bahkan, sesekali beberapa orang
menanyakan kabar buku ini. Seringkali pemilik buku menjawab baik-baik saja,
hanya saja rasanya sulit menggapai buku ini untuk kembali digoreskan tinta.
Sampai kini, pemilik buku tidak mengetahui faktor yang memengaruhinya. Sibuk?
sungguh tidak elok mengambinghitamkan hal-hal yang sebenarnya masih dapat
dikelola. Sampai saat ini hipotesis terkuatnya ialah kurangnya motivasi
internal dari pemilik buku untuk kembali menulis. Klise ya.
_________________________________________________________________________________
Hari ini, rupanya
rasa rindu menuliskan beberapa guru terbaik dalam hidupku tidak dapat
terbendung lagi. 2 tahun dan 93 hari
sudah dapat apa, ya? Begitulah
rupanya, satu diantara 1001 pertanyaan yang sering muncul dalam benakku ketika
melakukan hal yang orang sebut kontemplasi. Pada waktu bulan dan bintang
akhirnya bertemu hingga mereka harus berpisah lagi. Jujur, membaca kembali
tulisan-tulisan lama membuat aku mengingat kembali alasan mengapa bisa aku menuliskan hal-hal tersebut?. Hal tersebut juga
membuat aku menyadari banyak sekali skema milikku yang berubah, berkembang,
hilang, dan baru. 2 tahun dan 93 hari rasanya tidak banyak yang berubah dari
dunia dan masyarakat. Adapun yang berubah ialah diriku, dan dunia yang tidak
banyak berubah ini turut andil dalam perubahan tersebut. Hingga kini, aku masih
penganut paham konvergensi bahwa nature dan
nurture memiliki porsi yang saling
melengkapi dalam membentuk seseorang. Artinya, bahwa bukan saja dunia yang
membentukku, tetapi anugerah yang Tuhan titipkan sejak aku lahir dan tidak akan
dapat aku ubah pun menjadi kawannya dunia dalam membentuk aku sekarang.
Aku penasaran, masihkah ada yang penasaran dengan
kelanjutan perjalananku?. Walaupun, sejatinya aku tidak begitu peduli
dengan hal tersebut, aku memang hanya ingin perjalananku terabadikan, dan
sewaktu-waktu rekamannya dapat kuputar melalui rangkaian huruf ini. Namun jika
ada, aku sangat bersyukur sekali, jika ada orang lain yang hendak memutar
rekaman dalam rangkaian huruf ini. Semoga saja, rekaman-rekaman ini dapat
menutupi kesalahanku yang selama ini banyak sekali menyia-nyiakan waktuku hingga
sedikit sekali kebermanfaatan yang aku berikan bagi makhluk di sekitarku.
Ingin sekali
rasanya bertanya pada suasana, perasaan, pemikiran, dan juga manusia yang turut
membangun perspektif 2 tahun dan 93 hari kali ke belakang. “Apa kabar kalian?”.
Bingung juga sebenarnya hari ini. 2 tahun dan 93 hari begitu banyak yang ingin
aku ceritakan, hingga bingung memilih dan memilah cerita yang ingin ku tulis,
hingga dadaku sesak.
_________________________________________________________________________________
Selama 2 tahun 93
hari ini, banyak sekali hal yang membombardir isi kepalaku, juga tubuhku yang
memang sedari aku duduk di bangku sekolah dasar mudah sekali tumbang. Bom-bom
itulah yang pada akhirnya membentuk aku pada hari ini. Hingga pada akhirnya,
aku juga tertabrak realitas. Entahlah, aku juga bingung “mengapa usia 20 terasa sangat sulit”. Kira-kira begitu yang
sekarang seringkali menghantui isi kepala. Apakah
karena faktor society atau memang milestone perkembangan usia 20 tahun memang
seperti ini ya?. Begitu banyak hal yang seolah-olah menjadi perencanaan.
Semangat yang menggebu-gebu ingin merencanakan banyak hal, tapi tiba-tiba kita
pun harus siap rencana kita dibenturkan dengan realita.
Mulai
dari hal remeh temeh seputar cinta monyet yang tiba-tiba menjadi lebih bijak,
atau bahkan seputar keinginan berlayar keliling dunia dan membeli rumah tipe 36
untuk tinggal di wilayah sub urban fringe
seharga hampir lima ratus juta. Menggelitik ya, ternyata begitu banyak yang
harus disiapkan yang katanya untuk masa depan. Walaupun sejatinya kita tidak
tahu kita akan sampai di masa depan itu atau tidak, isi kepalaku selalu
mengatakan bahwa hal tersebut tentu harus direncanakan. Mungkin ini ya bentuk
realisasi dari kata-kata yang selalu dikatakan oleh guru mengajiku di surau
sewaktu aku kelas dua sekolah dasar “beribadahlah seolah-olah kamu akan
meninggal besok, dan bekerjalah (untuk urusan dunia) seolah-olah kamu akan
hidup seratus tahun lagi.”. Sekali lagi, aku bahkan tidak tahu penyebab hal-hal
di atas selalu muncul di kepalaku akhir-akhir (apakah faktor society atau memang ini adalah sebuah milestone
perkembangan manusia usia 20).
Seperti biasa,
seperti pada umumnya tulisan akan menggambarkan cara pandang penulisnya.
Manusia tumbuh, manusia berkembang, aku rasa begitu pula dengan cara pandang
semakin banyak asupan pengalaman skema dalam dirinya juga akan berubah.
Sedikit bercerita
(walaupun sebenarnya sudah banyak di atas), pernah ada yang mengatakan bahwa aku
terlalu “ambis”. Bahkan dia
menambahkan kata “terlalu” sebelum kata ambisius. Entahlah, kata ambisisus kini
agak bergeser makna terutama di kalangan mahasiswa. Katanya, manusia ambisius
adalah mereka yang mengerjakan tugas dan sudah selesai, padahal waktu
pengumpulan tugas masih satu minggu lagi (atau sejenisnya). Padahal nyatanya,
aku sama sekali tidak seperti itu. Aku masih masuk ke dalam golongan yang masih
panik tengah malam, karena tugas harus dikumpulkan besok sementara makalah dan power point (atau sejenisnya) belum
rampung. Sebenarnya bebas saja, kita ingin mengartikan ambisius itu sebagai
apapun. Walaupun, pada Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri ambisius berarti
berkeinginan keras mencapai sesuatu (harapan, cita-cita); penuh ambisi. Aku
rasa, semua orang yang saat ini sedang beraktivitas pun pasti sedang berupaya
mencapai sesuatu, sesederhana mencapai sesuatu untuk memenuhi kebutuhannya yang
paling dasar yakni kebutuhan fisiologis menurut Teori Kebutuhan dari Abraham
Maslow.
Kembali lagi, aku
selalu merasa mereka yang berambisi memiliki perancanaan yang matang untuk
mencapai ambisi-ambisinya tersebut. Rasanya, sah-sah saja asalkan hal yang
dilakukannya bukan perbuatan tercela menurut norma sosial, agama, dan hal-hal
lain yang merugikan makhluk di sekitarnya. Jika kembali lagi padaku, nyatanya
aku merasa masih malas (atau mungkin takut) memikirkan perencanaan-perencanaan
yang sejatinya harus aku capai demi memenuhi kebutuhan mulai dari fisiologis
hingga aktualisasi diri. Bagi yang akhirnya sudah mengenalku dengan dekat,
(mungkin) mereka akan sadar aku adalah manusia biasa-biasa saja, atau bahkan
terlalu biasa. Pada akhirnya, diriku atau bahkan mungkin mereka pada akhirnya
sadar bahwa aku adalah manusia yang sebenarnya malas bermimpi, tepatnya malas
untuk berekspetasi. Mungkin, mereka yang melihatku penuh ambisi saat melakukan
sesuatu, itu artinya aku sedang berusaha menyelesaikan tanggung jawabku yang
jangan sampai aku lalai terhadapnya. Hal itu karena, kalau aku lalai akan ada
efek domino mereka yang kecewa, bahkan dirugikan karena kelalaianku.
Sesederhana itu sebenarnya.
Jika ditanya “apakah aku punya mimpi” sejujurnya, saat
ini aku masih punya, sisa-sisa mimpi mungkin yang masih ku pegang erat-erat
seperti seseorang pada lagu “Balonku” yang memiliki balon lima buah. Kemudian,
balonnya pecah satu, dan empat lainnya harus dijaga dengan segenap jiwa raga. Terkadang
mimpi-mimpiku itu yang memberiku semangat untuk mengupayakan apapun. Terdengar kontradiktif,
tetapi pada akhirnya aku juga sering berpikir lagi bahwa aku selalu berpijak di
antara dua tempat. Tempat pertama adalah mimpi, tempat ke dua adalah realitas.
Mimpi dan realitas selalu berjalan beriringan, memang seperti mungkin
hakikatnya?. Di antara mimpiku bisa menginjakkan kaki ke bulan, selalu ada
realitas yang menyadarkanku bahwa aku bukanlah ahli astronomi yang bekerja di
NASA hingga akhirnya bisa naik roket ke bulan. Ibaratnya begitu.
Aku bukan penganut
paham bung Karno melalui kata-kata mutiaranya yang fenomenal, “bermimpilah
setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang”.
Walaupun dahulu, kalimat tersebut pernah amat memotivasiku, pada akhirnya aku
adalah penganut “apabila bermimpi jangan terlalu tinggi, agar kalau jatuh tidak
terlalu sakit”. Sejauh ini, begitu lah pandanganku terhadap hidup.
Sedikit berbagi, untuk
mensiasati pandanganku yang seperti itu agar aku tidak jalan di tempat menurutku
ialah dengan menentukan tujuan jangka pendek, yang aku rasa sedikit demi
sedikit dapat menggapai mimpi yang menurutku tinggi itu. Tujuan jangka pendekku
ialah sebuah tujuan yang aku pikir dapat aku usahakan dengan keadaan dan
kemampuanku sekarang. Walaupun terlihat usahanya minimal, setidaknya dengan
begitu semangat hidup terjaga dan sedikit demi sedikit setiap harinya kita
punya tujuan diciptakan Tuhan hadir di bumi. Selain itu, menurutku itu juga
merupakan upaya penyalamatan hati, agar tidak kecewa berlarut-larut. Asesmen
diri sendiri, kini menjadi salah satu tambahan mata kuliah yang sedang aku
pelajari disamping asesmen anak berkebutuhan khusus yang menjadi mata kuliah
paling penting dan mendasar di jurusan kuliah yang sedang aku ambil. Asesmen
diri juga menjadi salah satu mata kuliah paling penting dan mendasar yang
sepertinya akan aku pelajari sampai kapanpun di dalam hidupku.
_________________________________________________________________________________
Ternyata, menjadi orang biasa atau ordinary person tidak seburuk yang dipikirkan. Kalau dulu (seperti yang terbaca pada tulisan-tulisanku sebelumnya) aku selalu ingin menjadi out of the box, pada akhirnya aku merasa ditekan dan seolah dipaksakan. Tidak apa menjadi biasa tetapi dapat mempertanggungjawabkan segala hal yang dilakukan. Satu hal yang menurutku tidak boleh berubah, tetaplah berupaya menjadi sebaik-baiknya manusia walaupun kita adalah orang biasa. Manusia yang bermanfaat bagi makhluk lain sekecil apapun usahanya.
_________________________________________________________________________________
Ternyata, menjadi orang biasa atau ordinary person tidak seburuk yang dipikirkan. Kalau dulu (seperti yang terbaca pada tulisan-tulisanku sebelumnya) aku selalu ingin menjadi out of the box, pada akhirnya aku merasa ditekan dan seolah dipaksakan. Tidak apa menjadi biasa tetapi dapat mempertanggungjawabkan segala hal yang dilakukan. Satu hal yang menurutku tidak boleh berubah, tetaplah berupaya menjadi sebaik-baiknya manusia walaupun kita adalah orang biasa. Manusia yang bermanfaat bagi makhluk lain sekecil apapun usahanya.
_________________________________________________________________________________
Akhirnya, aku
bercerita lagi setelah 2 x 365 + 93 hari hanya memendam. Walaupun tidak semua
mampu aku tuangkan, setidaknya 1328 kata
mewakilinya. Jangan berhenti ya, seberat apapun, roda ceritamu harus tetap
berputar.
Di hari tepat aku selesai menulis ini, Selamat Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2020 manusia-manusia mandiri!
Sangat menginspirasi, terima kasih♥
BalasHapus